3 Strategi Berlatih Yoga yang Seimbang bagi Orang dengan Hipermobilitas

man in black tank top holding brown stretching rope

Bagi mereka dengan kondisi hipermobilitas, seimbangkan kelenturan dengan kekuatan. Caranya dengan memakai resistance band saat berlatih yoga asana. (Foto oleh Keiji Yoshiki di Pexels.com)

Beberapa waktu terakhir ini saya tertarik dengan konten yang disuguhkan Laurel Beversdorf, seorang guru yoga bertitel E-RYT 500 dan sudah relatif berpengalaman dalam bidang anatomi yoga dan yoga asana. Pendekatannya sangat kontraintuitif, yang artinya di luar tren yang ada. Dan kebetulan saya sangat suka dengan hal-hal yang di luar tren. Sebenarnya bisa jadi jebakan ego, karena ada suara dalam diri saya yang menganggap ‘keren’ jika tidak menjadi sekadar pengikut, tetapi mengikuti dengan alasan yang benar atau karena ada kesesuaian dengan bagian dari diri saya saat itu.
Kembali pada pemikiran dan pendekatan Beversdorf pada praktik yoga asana yang unik itu, saya menemukan poin penting dan menarik yang menyatakan bahwa bagi mereka yang ‘menderita’ hipermobilitas sebetulnya pendekatan sedang-sedang saja lebih jitu dan dibutuhkan daripada terus mengeksplorasi batas kelenturan yang sejatinya malah bisa mencederai dan membuat celaka dalam jangka panjang.
Beversdorf mengemukakan beberapa strategi berlatih yoga yang dibutuhkan mereka yang sudah sangat lentur dalam ukuran orang normal.
Menurut saya, inilah yang sekarang saya lebih butuhkan daripada mengejar kelenturan yang luar biasa. Apa imbalannya? Tidak ada.
Kemudian saya juga teringat dengan penuturan seorang guru yoga saya bahwa sejumlah praktisi yoga yang ia pernah temui mengalami kontraindikasi dari latihan yoga yang terlalu mengeksplorasi aspek kelenturan tubuh. Kira-kira begini kata guru saya itu: Ada mereka yang sangat kaku dulunya – jadi mereka tidak lentur secara bawaan atau alamiah – tetapi kemudian mereka mencoba yoga dan melihat mereka juga memiliki harapan untuk menjadi lebih lentur bak kontorsionis lalu mereka berlatih secara berlebihan tanpa diimbangi dengan latihan fisik lain yang bersifat menstabilkan, justru di masa tuanya mereka akan menjadi lebih kaku daripada semasa mereka muda sebelum mengenal yoga. Kekakuan itu bisa jadi karena cedera yang berakumulasi selama bertahun-tahun berlatih setiap hari untuk mengejar fleksibilitas ‘tingkat dewa’. Tentu tak masalah jika fleksibilitas itu merupakan sesuatu yang sudah terberi, genetis atau alamiah tetapi manusia umumnya tidak akan bisa sampai kelenturan yang dimiliki oleh seorang ‘manusia karet’ atau kontorsionis seperti yang biasa kita lihat di sirkus atau pertunjukan yang menyuguhkan orang-orang dengan tingkat ketangkasan di luar rata-rata.
Kelenturan ini menurut saya perlu sekali dibahas dalam kelas yoga karena bagi banyak orang, penguasaan yoga dilihat dari kelenturan yang di luar kewajaran. Makin musykil gerakan yang Anda bisa capai, makin ‘master’ Anda di mata murid. Karena di balik obsesi kelenturan ini, ada risiko cedera jangka panjang yang mengintai dan perlu diwaspadai agar kita bisa mengantisipasi. Kelenturan bisa terlihat ‘keren’ dan ideal dan sangat indah dan dikehendaki oleh banyak orang yang berlatih yoga asana. Sehingga alih-alih terobsesi dengan latihan harian yang melulu memprioritaskan pemanjangan otot dan pemutaran sendi-sendi hingga mencapai jangkauan gerak (range of motion) yang memukau manusia lain, saya mencoba untuk mencapai titik keseimbangan yang lebih sehat dan wajar antara kelenturan dan kekuatan. Karena tidak ada hal yang baik daripada ketidakseimbangan. Semua gangguan kesehatan dan masalah dalam hidup ini sejatinya bersumber dari ketidakseimbangan, bukan?

Lebih lanjut Beversdorf mengemukakan bahwa yoga sering menarik bagi mereka yang berbakat dalam kelenturan dan memiliki kecenderungan hipermobilitas, yang bagi banyak orang amat didambakan untuk berbagai tujuan. Tubuh orang-orang yang memiliki kecenderungan hipermobilitas biasanya secara alamiah ‘meminta’ dan ‘menikmati’ setiap gerakan asana yoga yang mengharuskan pelakunya menembus jangkauan gerak yang sewajarnya. Namun, sekali lagi, asana mirip dengan pisau, yang di satu sisi bisa membantu kita mencapai tujuan untuk menyehatkan tubuh tetapi di sisi lainnya juga berpotensi merusak tubuh dan membahayakan manusia yang melakukannya.
Menurut Beversdorf, hipermobilitas merupakan suatu kondisi yang memilki spektrum yang luas. Ia memengaruhi kolagen, yakni jaringan penghubung yang memiliki fungsi penguat dan stabilisator bagi ligamen, tendon dan fascia. Adapun gejala-gejalanya mencakup rasa skit dan ngilu yang kronis, mudah memar, dislokasi, dan propriosepsi (proprioception: sensasi mengenai posisi tubuh di ruang bebas) yang tak lagi sempurna. Karena hipermobilitas ini bisa memengaruhi proprisepsi seseorang, penggunaan props atau alat bantu dan peralatan lainnya akan menjadi bantuan yang efektif untuk memberikan informasi sensorik mengenai posisi tubuh yan sebenarnya dan jangkauan gerak dari sendi-sendi si pelaku yang hipermobil.

“Bagaimana Anda berlatih menjadi penentunya!” ujar Beversdorf. Ia membagikan sejumlah strategi berlatih yoga asana bagi mereka yang sudah merasa saatnya untuk menstabilkan tubuh yang terlalu lentur akibat berasana selama bertahun-tahun.

STRATEGI 1: Menahan diri untuk tidak melampaui batas

Dalam pandangan Beversdorf, ada alasan mengapa kita tidak perlu mengejar sampai ke batas. Bukan karena malas atau ingin menghindari rasa sakit, tetapi lebih karena otot-otot tubuh kita akan menikmati manfaat latihan asana dan dapat lebih mengoptimalkan tekanan untuk menstabilkan sendi-sendi saat sendi-sendi itu diposisikan di jangkauan gerak yang medium atau sedang, alias di tengah. Tidak sampai ke jangkauan yang paling maksimal tetapi juga tidak sampai minimal. “Hal ini membantu mengurangi ketegangan yang diberikan pada jaringan halus seperti ligamen dan kartilago, jaringan-jaringan yang berisiko saat kita melakukan posisi dengan jangkauan sendi yang paling maksimal,” terang Beversdorf yang ingin memopulerkan #midrangeisthenewblack, bahwa untuk ‘keren’ seseorang tidak perlu sampai selentur kontorsionis. Kecuali itu memang profesi Anda, lain cerita. tetapi jika kelenturan bukanlah sesuatu yang menjadi prioritas utama dalam hidup Anda dan cuma sekadar kesenangan semata dalam mengeksplorasi, tidak ada kewajiban Anda untuk sampai berjuang ke jangkauan gerak yang ekstrim dan ‘gila’. Hanya saja, inilah ‘jebakannya’, batasan ‘ekstrim dan gila’ ini berbeda-beda bagi satu orang dan yang lainnya. Apa yang bagi A sudah relatif ekstrim, belum tentu demikian bagi yang lain. Dan tidak ada guru yoga yang bisa mendikte Anda dan memberitahu apakah Anda sudah berada di luar batas atau masih di tengah. Untuk ini Anda harus mengandalkan diri sendiri.
Tetapi intinya, jika Anda masih bisa ‘lebih dalam’ atau ‘lebih jauh’, tahan diri dan pilihlah di tengah. Itu jika Anda berlatih sebagai orang dengan hipermobilitas. Lain jika kasusnya si praktisi ialah orang yang mengalami kekakuan sehingga jangkauan geraknya lebih terbatas dan kegiatan sehari-harinya terganggu.
Untuk itu, berlatih yoga asana dengan resistance band menurut Beversdorf dianjurkan karena kita bisa mengaktifkan otot-otot sembari tetap menstabilkannya berkat adanya tekanan dari resistance band yang dipakai. “Praktisi yoga akan mengeksplorasi posisi tengah yang lebih mengutamakan kekuatan mereka daripada begitu saja mencapai posisi dengan jangkauan gerak maksimum dalam pose-pose fleksibilitas pasif.

STRATEGI 2: Berlatih dengan tempo lambat untuk membangun lebih banyak kekuatan otot

Kiat lain yang perlu dipertimbangkan oleh mereka yang hipermobil ialah memperlambat tempo latihan mereka. Kita banyak saksikan orang-orang kaku berjuang dalam kelas-kelas yoga untuk membuat diri mereka lebih lentur. Kecepatan mereka dalam mengeksekusi asana – akibat terkendala kekakuan dan pendeknya otot – juga berpengaruh pada kecepatan latihan. Nah, mereka dengan hipermobilitas bisa meniru kecepatan latihan mereka yang lebih rendah itu karena semakin lambat kita berlatih, semakin KUAT kontraksi otot yang dihasilkan. Sebaliknya, semakin cepat kita melakukan satu gerakan/ asana yoga, semakin lemah kontraksi yang dihasilkan, ucap Beversdorf.

“Ini karena reaksi-reaksi kimiawi yang terjadi selama kontraksi otot (dan banyak lagi yang lain yang membutuhkan banyak kalsium) membutuhkan waktu. Makin banyak waktu yang Anda berikan untuk mengeksekusi satu asana, semakin tinggi tenaga yang dihasilkan sel-sel otot. Sehingga kekuatan otot dan kecepatan kontraksi otot berbanding terbalik. Inilah yang dibutuhkan oleh mereka dengan hipermobilitas. Daripada melakukan asana dengan tekanan pasif pada jaringan halus Anda, cobalah berlatih dengan lebih lambat dan sabar untuk menghasilkan tekanan otot. Karena Beversdorf yakin bahwa bagi mereka yang hipermobil, menyokong sendi-sendi dengan kekuatan otot aktif jauh lebih penting dan disarankan.

STRATEGI 3: Gunakan alat bantu (props)

Seperti dikemukakan sebelumnya, hipemobilitas sebagai sebuah kondisi fisik tubuh manusia menunjukkan mobilitas atau jangkauan gerak yang di atas rata-rata. Namun, terlalu lentur juga membuat seseorang menjadi ‘lalai’ dalam menjaga jangkauan gerak yang sehat dan seimbang karena ia bisa dengan mudah tanpa banyak usaha dan hambatan. Bila orang kaku memiliki banyak hambatan dan harus berusaha sekuat tenaga untuk bisa kayang, mereka yang hipermobil dapat melakukannya tanpa persiapan atau pemanasan sekalipun. Pemanasan bagi mereka kerap dipandang sebagai stretching biasa yang membuang waktu dan tidak berfaedah karena ‘tidak terasa’ efeknya. Padahal jika kita bisa merasakan kekakuan yang porsinya pas, kita justru bisa lebih merasakan tubuh kita.
Oleh karenanya, Beversdorf menyarankan Anda yang hipermobil untuk menggunakan resistance bands dalam berlatih agar kita bisa kembali merasakan sedikit kekakuan. Resistance band ialah alat yang bisa memberikan masukan eksternal pada otot dan sendi kita agar tidak bergerak sampai jangkauan gerak yang maksimal. Tekanan yang diberikan resistance band ini akan membantu kita menstabilkan sendi dan otot yang sudah terlalu panjang, lentur dan sangat mudah dibentangkan. (*/)